Di
jaman modern saat ini, perkembangan kebudayaan Jawa semakin hari semakin
luntur. Begitu juga mengenai pemahaman tentang filsafat Jawa mulai tidak
dihiraukan. Bahkan hanya sedikit orang yang tertarik tentang adanya filsafat
Jawa. Kehidupan masyarakat makin hari makin terpengaruh oleh budaya Barat,
sehingga membuat mereka mengabaikan filsafat Jawa. Filsafat Jawa sejatinya
bersifat universal sehingga tidak hanya dipeuntukkan untuk masyarakat Jawa
saja, namun dapat diperuntukkan kepada siapa saja yang ingin mempelajarinya.
Berikut beberapa filsafat Jawa yang dapat kita pahami :
v Memayu
hayuning bawana (melindungi bagi kehidupan dunia).
v Sukeng
tyas yen den hita (suka/bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran).
v Jer
basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan).
v Ajining
dhiri dumunung ing kedhaling lathi (nilai diri seseorang terletak pada gerak
lidahnya).
v Ajining
sarira dumunung ing busana (nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya).
v Amemangun
karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain).
v Kridhaning
ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi (Gejolak jiwa tidak bisa merubah
kepatian).
v Budi
dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa (Budi daya manusia tidak
bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa).
v Sura
dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kemarahan dan kebencian akan
terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut).
v Tan
ngendhak gunaning janma (tidak merendahkan kepandaian manusia).
SIAPA ORANG JAWA ITU ?
Menurut
aspek antropologis, orang jawa memang sudah lama ada. Orang jawa selalu
mengatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah
orang yang bebadra (mendirikan) tanah
Jawa. Walaupun sampai saat ini tidak jelas siapa yang memberi nama (pulau)
Jawa. Dalam Serat Pramayoga karya R.
Ng. Rannggawarsita yang bersumber dari Serat
Jitapsara karya Begawan Palassara, diterangkan bahwa nenek moyang orang
Jawa adalah hasil sinkretis Hindu Jawa dan Islam Jawa. Perpaduan keyakinan
tersebut telah melahirkan berbagai mitos kejawaan. Dalam karya tersebut
diceritakan tentang kisah Ajisaka (oleh orang Jawa) dijadikan tonggak (cikal bakal) orang Jawa. Mitos ini
digubah dalam Serat Ajisaka (anonim),
yang selalu dinyatakan sebelum tokoh ini datang ke Jawa (ngajawa), pulau Jawa telah dihuni dan dipimpin oleh raja raksasa.
Ajisaka adalah orang yang menciptakan Dentawiyanjana
(aksara Jawa).
Namun
jika menengok kisah dalam Tantu
Panggelaran ternyata nenek moyang orang Jawa adalah dewa, yakni batara
Siwa. Batara Siwa telah menemukan sebuah pulau yang banyak tumbuh tanaman Jawawut (mirip rumput teki), lalu diubah
namanya menjadi Jawa. Perubahan nama dari Jawawut
menjadi Jawa, tampaknya memang kurang pasti. Namun, jika dilihat dari aspek
etimologi rakyat, jawawut kemungkinan berasal dari kata jawa+wut (awut-awutan), artinya
keadaan yang belum tertata. Jika ditelusuri lagi, naama Jawa mungkin dari kata ja (lahir) dan wa (watak). Artinya, kelahiran watak baru (peradaban). Jadi, Jawa
berarti kelahiran atau kebangkitan peradaban, dari kebodohan ke arah kemajuan.
Nama
Jawa tersebut, jika ditinjau dari aspek historis, sedikit berbeda. Waktu itu
ada seorang Yunani bernama Claudius Ptolomeus pernah menulis berita tentang
Jawa dengan nama Jabadiu. Jabadiu artinya
pulau yang subur dan banyak mengandung emas. Tokoh ini kemudian mengubah Jabadiu menjadi Jawa Dwipa, artinya pulau Jawa. Sumber lain, pedagang Venesia yang
bernama Marcopolo mengunjungi pulau Hindia, dia menyebut nama Giava atau Jawa. Seorang pengembara Arab
bernama Ibnu Batutah menyebut nama pulau subur itu dengan sebutan Jawah. Nama tersebut dalam bahasa krama
berarti hujan.
Dari
aspek mitologi maupun histiris, dapat disimpulkan bahwa nenek moyang Jawa masih
menjadi teka-teki. Karena orang Jawa sulit membayangkan siapa nenek moyangnya,
mereka gemar menciptakan bayangan-bayangan mitologis. Yang pentinng figur
bayangan tersebut mewakili komunitasnya dan menuju pada titik kabaikan. Orang
Jawa banyak yang menganggap Semar dalam tokkoh pewayangan sebagai figur
bayangan nenek moyang orang Jawa. Karena nenek moyangnya berasal dari seorang
dewa yang menyamar sebagai rakyat kecil, orang Jawa merasa dirinya sebagai
seperti Semar. Itu adalah ulasan mengenai sejarah orang Jawa yang sampai
sekarang masih belum ada titik terangnya dan masih dipermasalahkan.
APA FILSAFAT JAWA ITU ?
Di
Indonesia tidak memiliki filsafat sendiri atau asli Indonesia. Yang ada dan
terus berkembang adalah filsafat Timur dan Barat. Sehingga di Indonesia
pelajaran yang lebih ditekankan kepada pelajaran filsafat Barat. Di dalam
kehidupan rohani, yang menjadi dasar dan memberi isi kebudayaan Jawa,
benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar-awal segala sesuatu, renungan
tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir dan pencarian sebab
terdalam dari padanya, yaitu suatu perincian tentang :
a. Arti
hidup manusia, asal mula dan akhir kehidupan (penulis : “Sangkan paraning
dumadi”)
b. Hubungan
manusia-Tuhan-dunia.
Pengetahuan
tentang apa yang hidup dalam bangsa Jawa, tidak hanya di antara mereka yang
dianggap sebagai pengemban kebudayaan, melainkan bahkan di kalangan rakyat
biasa, sudahlah cukup untuk meyakinkan kita tentang kecintaan mereka terhadap
renungan filsafat. Berikut beberapa contoh terutama dari Kesusastraan Suluk
Jawa Modern dan dari kesusastraan Jawa Kuna :
a.
Sebagian ungkapan ontologi, kita dapatkan dalam Serat Suluk yang membicarakan sifat
alam semesta, berada di antara tidak ada-mutlak dan ada-mutlak-nyata, yaitu
Tuhan.
b.
Dalam berbagai bentuk dan cara kita
dapatkan renungan-renungan tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, antara
wujud mutlak, dan wujud Ilapi, yang selalu dilatarbelakangi oleh pengalaman
ekstase kesatuan abdi dan Tuhan (penulis: Manunggaling Kawula Gusti), namun
senantiasa merupakan usaha mencari keterangan pengertiannya dan untuk mendalami
makna dari seluruh yang ada.
c.
Dari kesusastraan Jawa Kuna disebutkan
Kekawin arjuna Wiwaha, dimana Arjuna yang sedang bertapa ditemui oleh Sang Siwa
yang memperlihatkan dirinya dengan sifat-sifat ilahi.
Dalam
ajaran-ajaran filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum yakni : Pertama, konsep pantheistik (kasatuan) yaitu manusia dan jagad raya merupakan
percikan zat Ilahi. Kedua, konsep
tentang manusi. Manusia terdiri dari dua segi, lahiriah dan batiniah. Ketiga, konsep mengenai perkembangan. Keempat, konsep sikap hidup, yaitu (1) distansi, manusia mengambil jarak dengan
dunia sekitar baik aspek materiil maupun spirituil, (2) konsentrasi, ditempuh dengan tapa brata (mengekang hawa nafsu), dan
representasi, upaya mencapai keselarasan, memahayuning-bawana.
Perwujudan
konsepsi demikian akan terlihat dalam berbagai jenis filsafat Jawa yakni : Pertama, filsafat metafisika, yakni
bahwa Tuhan adalah merupakan sangkan
pararing dumadi. Kedua, epistemologi, yaitu proses memperoleh pengetahuan
dengan jalan mencapai kesadaran cipta, rasa, dan karsa (hening), kesadaran panca indera, kesadaran pribadi, dan kesadaran
Ilahi. Ketiga, falsafah aksiologi,
terkait dengan nilai etik dan estetis. Keempat,
falsafah anthropologia yaitu pola pikir Jaawa yang berkisah tentang
persoalan manusia dinamakan. Kelima, falsafah
ontologia dan metafisika (filsafat tentang ada).
Namun
untuk mempermudah penuturan, ketiga segi filsafat itu (metafisika,
epistemologi, axiologi) akan dibahas lebih jelas lagi.
a.
Metafisika
Ungkapan
tentang Ada (Ada semesta, Alam semesta)-Tuhan-Manusia, dapat dianggap sebagai
hasil pemikiran ataupun sebagai hasil
pengalaman atau penghayatan manusia. Karena hasil ini dinyatakan berupa penuturan
dengan kata (verbal) dan tersusun secara sistematis, maka dapat disebut
Filsafat dalam arti sempit. Ciri-ciri dasarnya adalah :
1)
Tuhan adalah Ada Semesta atau Ada
Mutlak.
2)
Alam Semesta merupakan pengejawanrahan
Tuhan.
3)
Alam Semesta dan Manusia merupakan suatu
kesatuan, yang biasanya disebut kesatuan Mikrokosmos.
Pemikiran
filsafat bertitik tolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud
nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera. Bukan dasar awal yang dicari
dan dipertanyakan seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan
dari mana dan kemana semua wujud ini atau dengan istilah sangkan paran :
1)
Sangkan paraning dumadi : awal-akhir
alam semesta.
2)
Sangkan paraning manungsa : awal-akhir
manusia.
3)
Dumadining manungsa : Penciptaan
manusia.
Pencarian
manusia akan berakhir dengan wikan, weruh
atau mengerti Sangkan Paran. Filsafat Jawa sepanjang masa berkesimpulan
bahwa Tuhan merupakan Sangkan Paraning Dumadi dan Manungsa :
1)
Awal berarti berasal dari Tuhan
2)
Akhir berarti kembali kepada Tuhan
Usaha manusia untuk kembali pada
asalnya atau Tuhan dilakukan baik dengan jalan jasmani maupun rohani, atau
jalan lahir dan jalan batin. Jalan batin ini umumnya didapatkan pula pada
kehidupan budaya bangsa-bangsa lain dan disebut mistik atau mistisisme.
Perincian penggambaran Tuhan, Manusia dan Alam semesta :
1. Tuhan
a)
Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti
apa pun, dekat tiada bersentuhan, jauh tidak ada perbatasan.
b)
Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama
yang umumnya menggambarkan sifatnya, seperti Sang Hyang Taya (tiada), Wenang,
Tunggal. (Prof. Dr. R. M. Ng.poerbatjaraka : Kepustakaan Jawa, halaman 68).
2.
Manusia : unsur-unsur yang menjadi
sarana “kembali”.
a)
Jasmani
·
Kakang kawah, adhi ari-ari : air ketuban
dan plasenta.
·
Lobang sembilan.
·
Panca indera.
b)
Rohani : sedulur papat kalimo pancer :
empat saudara dan penuntun sebagai saudara kelima.
·
Nafsu empat : Mutmainah, Amarah,
Lauwamah dan Supiah.
·
Aku (Ego) dengan kodrat kemampuan cipta
rasa karsa.
·
Pribadi (Self) atau Ingsun, Suksma Sejati,
sebagai penuntun Aku.
·
Suksma Sejati merupakan “percikan” Tuhan
atau Suksma Kawekas.
Kembali kepada Tuhan juga disebut :
“pulang kepada asal” : mulih-mula-mulanira.
3.
Alam semesta (Dunia)
Penuturan tentang penciptaan dunia
(Kosmogoni) dan gambaran dunia (Kosmologi) berbentuk beraneka ragam dengan
unsur-unsur budaya hidu, Budha dan Islam. Yang sangat menonjol adalah Susunan
Hirarki (hierarchical order) di dalamnya.
b.
Epistemologi
Epistemologi
mempelajari proses untuk memperoleh pengetahuan (knowledge). Telah disebut dua
jalan atau metoda untuk memperoleh pengetahuan dengan mempergunakan kodrat
kemampuan manusia :
1)
Penalaran, akal, rasio, abstraksi
(Aristoteles).
2)
Intuisi, rasajati (Plato, Bergson).
Dalam
Filsafat Jawa pada hakekatnya terdapat pula jalan serupa, dengan tahap-tahap
penggunaan cipta-rasa-karsa, melalui tingkat kesadaran :
1)
Kesadaran panca inderawi atau Aku (Ego
consciousness).
2)
Kesadaran hening : manunggaal dalam
cipta-rasa-karsa.
3)
Kesadaran pribadi (Ingsun, Suksma
Sejati) : manunggal Aku-Pribadi (Self consciousness).
4)
Kesadaran ilahi : manunggal
Aku-Pribadi-Suksma Kawekas.
Pada
tingkat mutakhir terjadi manunggal Subyek-Obyek, sehinngga diperoleh
pengetahuan mutlak atau kawicaksanan, kawruh sangkan paran dalam mencapai
kesempurnaan. Ketiga kemampuan Cipta-Rasa-Karsa ini dalam kehidupan sehari-hari
diusahakan dapat bersatu untuk diwujudkan dalam kata dan karya, ucapan dan
perbuatan. Penggunaan kemampuan yang dihayati lebih mendalam dari pada Cipta,
yaitu Rasa dan Rasajati, digambarkan sangat baik dalam budaya kita, khususnya
Jawa. Dalam pergaulan dipergunakan dua atau tiga tingkat bahasa, ngoko untuk
sesama, Krama dan Krama Inggil untuk menyapa mereka yang dianggap lebih tinggi,
baik dalam usia maupun fungsi masyarakat.
c.
Axiologi
v Estetika
: Keindahan
a. Jaman
Jawa-Hindu : Keindahan selalu dianggap sebagai pengejawantahan dari yang
Mutlak. Maka semua keindahan adalah satu (Zoetmulder).
b. Jaman
Jawa-Islam : Dalam kesusasteraan Suluk diperpadat seluruh 20 sifat dan 99 nama
indah (asma’ul husnah) Allah menjadi 4 sifat, dimana keindahan dimasukkan :
1) Agung : Jalal
2) Elok : Jamal (Indah)
3) Wisesa : Kahar (Kuasa)
4) Sempurna : Kamal
v Etika
: Kesusilaan
Dalam
etika dipermasalahkan adannya baik-buruknya yang mempengaruhi peri laku manusia
dan yang juga berhubungan dengan adanya Tuhan. Dalam Filsafat Jawa baik-buruk
dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam pelbagai
keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu : Mutmainah, Amarah, Lawwamah dan Supiah.
Keinginan baik (Mutmainah) akan
selalu berhadapan dengan keinginan buruk (Amarah-Lawwamah-Supiah) untuk
menjelmakan peri laku manusia. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang dengan
watak-watak pendeta, pendita-ratu, satria,
diyu (yaksa), cendala. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat
diperoleh dengan usaha sewaktu hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak
lahirnya.
HUBUNGAN
FILSAFAT JAWA DENGAN KEBUDAYAAN DAN KEHIDUPAN ORANG JAWA
Budaya
Jawa atau kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol-simbol
yang digunakan oleh orang Jawa untuk melestarikan kehidupannya, yang diperoleh
melalui proses belajar dalam kehidupan mereka sebagai warga masyarakat Jawa.
Kebudayaan Jawa di sini tentu saja mencakup di dalamnya filsafat atau falsafah
Jawa, yaitu perangkat simbol yang berupa pandangan-pandangan orang Jawa
menge-nai dunia dan kehidupan di dalamnya, nilai-nilai tentang baik dan buruk
yang mereka anut, norma-norma serta aturan-aturan untuk berhubungan dengan alam
ghaib, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan alamnya.
Filsafat
Jawa dengan demikian merupakan salah satu unsur budaya Jawa dalam wujud utama
berupa gagasan-gagasan atau pengetahuan. Sebagai gagasan, sistem filsafat Jawa
ini tentu harus dapat mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, maka
keberadaannya tidak akan diketahui. Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi
manusia dan masyarkat, berbagai macam kekuatan harus dihadapi seperti kekuatan
alam dan kekuatan lain. Kebudayaan memberikan aturan bagi manusia dalam
mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Oleh karena itu, dengan
adanya filsafat, kita dapat mengetahui tentang hasil karya manusia yang akan
menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia
terhadap alam lingkungannya.
Banyak
budaya Jawa yang mempengaruhi filsafat Jawa, seperti seni Jawa dan gaya hidup
orang Jawa. Kebudayaan Jawa telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur
dan menjaga keharmonisan dengan alam. Memaknai dan memberi warna istimewa
terhadap hasil yang telah diperoleh. Memanfaatkannya untuk kepentingan orang
lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga adalah
presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam dan kaya
makna dalam ranah kehidupan sosial.
Upacara
wiwitan ini adalah hasil implementasi dari tiga fase perkembangan kebudayaan
Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan fase rasional-religion.
Upacara wiwitan ini tidak hanya menjadi seremonia sewaktu akan menanam atau
memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali persaudaraan antara
warga desa, khusunya kaum petani. Lebih-lebih upacara ini merupakan khazanah
budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi. Karena di dalamnya
menanamkan rasa persaudaraan dan solidaritas atar sesama manusia. Untuk lebih
memeriahkan upacara ini warga terkadang juga menggelar kesenian gejon lesung
dengan tembang-tembang Jawa yang berisi tentang kemakmuran para petani. Di
samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai bentuk untuk
melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani Jawa.
Selain
itu seni wayang juga merupakan kebudayaan Jawa yang dapat dihubungkan dengan
filsafat Jawa. Wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan peragaan
pengalaman religius yang merangkum bahwa wayang dan pewayangan mengandung
filsafat yang dalam dan dapat memberi peluang untuk melakukan filsafati dan
mistis sekaligus. Pada umumnya penggemar pewayangan beranggapan bahwa tidak ada
kebenaran dan kesalahan yang mutlak. Sikap toleransi mereka terungkap dalam
kata seloka yang cukup populer yaitu aja dumeh, jangan mentangmentang dan aja
nggugu benere dhewe, jangan menuruti kebenaran sendiri. Itu salah satu contoh
kebudayaan Jawa yang mengandung filsafat Jawa.
Falsafah
Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama. Yaitu: aras sadar ber-Tuhan,
aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia
implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran
Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa
sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Ada
dua hal yang andil dalam pembentukan kepribadian orang Jawa sampai sekarang,
pertama: masyarakat Jawa adalah warisan dari sistem pemerintahan kerajaan.
Kedua, masyarakat Jawa pernah dijajah oleh bangsa kolonial dalam waktu yang
panjang. dua hal ini menyebabkan masyarakat jawa mengalami stratifikasi sosial.
Misalnya wong gedhe dan wong cilik, priyayi dan wong lumrah dan sebagainya.
Pembagian strata ini dilakukan sendiri oleh Masyarakat Jawa tanpa ada
aturan-aturan yang menjadi pedoman. Akibat stratifikasi sosial komunikasi
sosial harus mempertimbangkan berbagai aturan, oleh karena itu muncullah norma-norma
yang mengatur hubungan antar strata masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ciptoprawiro,
Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta:
Balai Pustaka.
Endraswara,
Suwardi. 2006. Filsafat Hidup Jawa. Yogyakarta:
Cakrawala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar